Dialog Seri 1: 7
Tilmidzi: “Bagaimana ayat-ayat Al Qur’an dikumpulkan dan disusun setelah Rasulullah SAW wafat?”
Mudariszi: “Rasulullah SAW selalu menyampaikan ayat-ayat Al Qur’an (termasuk susunan ayat-ayatnya yang telah dikoreksi oleh Jibril) kepada para sahabat untuk dicatat, dibaca, dihafalkan dan diamalkan. Ketika Rasulullah SAW wafat, ayat-ayat Al Qur’an tersebut tercatat pada papan-papan, kayu-kayu, tulang-tulang, batu-batu dan dalam hafalan para sahabat. Kemudian sebagian sahabat ikut berjihad menyebarkan agama Islam di muka bumi, termasuk para penghafal Al Qur’an. Sebagian penghafal Al Qur’an wafat ketika berperang (berjihad). Hal itu mengkhawatirkan Umar bin Khattab, sehingga dia meminta Abu Bakar, Khalifah (pemimpin) umat Islam ketika itu, untuk mengumpulkan semua catatan ayat-ayat Al Qur’an di bawah pemeliharaan Khalifah. Abu Bakar menyetujuinya, seperti dijelaskan sunnah Rasulullah ini:
Dari Anas, ia berkata: “Rasulullah SAW telah wafat sementara Al Qur’an belum dikumpulkan kecuali (oleh) empat orang: Abu Darda’, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” Katanya: “Kami mewariskan pengumpulan itu.” (HR Bukhari)
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: “Abu Bakar mengirimkan kepadaku menuju medan perang penduduk Yamamah. Namun tiba-tiba Umar berada di sisi Abu Bakar. Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar telah datang kepadaku lalu berkata: “Sesungguhnya peperangan hari Yamamah ini telah memakan kurban orang-orang yang hafal (pandai membaca) Al Qur’an, dan saya sangat mengkhawatirkan kalau perang ini membakar (menelan kurban) kepada penghafal Al Qur’an di tempat-tempat yang lain, sehingga sebagian banyak dari Al Qur’an ikut hilang. Dan sesungguhnya saya berpendapat untuk memerintahkanmu menghimpun Al Qur’an.” Saya bertanya kepada Umar: “Bagaimana engkau berbuat sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?” Umar menjawab: “Ini, demi Allah, baik.” Umar tidak henti-hentinya mendesakku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk melakukan hal itu. Dan aku telah berpendapat mengenai hal itu seperti pendapat Umar.” Zaid berkata: “Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya engkau adalah lelaki muda yang cerdas, kami tidak hanya sekedar mendugamu, engkau benar-benar telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah SAW, maka telitilah Al Qur’an dan kumpulkanlah ia.” Demi Allah, andaikata mereka membebaniku untuk memindahkan gunung tentulah tidak lebih berat bagiku daripada apa yang telah Abu Bakar perintahkan kepadaku yang berupa pengumpulan Al Qur’an. Lalu saya meneliti Al Qur’an lalu mengumpulkannya dari lempengan batu, pelepah kurma dan dada–dada para tokoh sehingga aku menemukan akhir surat At Taubah bersama Abu Huzaimah Al Anshariy dimana aku tidak menemukannya bersama orang lain selain dia: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; Tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada–Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (surat At Taubah ayat 128-129). Adalah lembaran-lembaran Al Qur’an itu berada di sisi Abu Bakar sehingga Allah mewafatkannya, kemudian berada di sisi Umar selama hidupnya, kemudian berada di tangan Hafshah binti Umar.” (HR Bukhari)
Tentang Umar bin Khattab, Rasulullah SAW menjelaskan tentang sahabatnya itu dalam sunnah Rasulullah ini:
Dari Hamzah bin Abdillah bin Umar, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ketika saya tidur didatangkan pada saya segelas susu, lalu saya minum, kemudian kelebihannya saya berikan kepada Umar bin Khathab.” Mereka berkata: “Engkau ta’wilkan apakah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Ilmu.” (HR Bukhari)
Sunnah Rasulullah di atas menunjukkan Umar bin Kathab merupakan sahabat Rasulullah yang berilmu (Al Qur’an). Pengumpulan ayat-ayat Al Qur’an lalu dilakukan oleh para sahabat dengan mengoreksi setiap ayat-ayat Al Qur’an termasuk ucapannya dan tempat (susunan) ayat-ayatnya. Setiap sahabat yang terlibat dalam pengumpulan, penyusunan, pengkoreksian, penulisan ayat-ayat Al Qur’an itu diambil sumpahnya agar mereka bekerja dengan benar, hati-hati dan penuh tanggung jawab, seperti dijelaskan sunnah Rasulullah ini:
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Umar berkata: “Wahai Ubaiy, bacakan kepada kami! Sesungguhnya kami pasti meninggalkan kesalahan ucap, Ubaiy.” Dan Ubaiy pun berkata: “Aku telah mengambilnya dari mulut Rasulullah SAW sehingga tidak sesuatupun yang saya tinggalkan. Allah Ta’ala telah berfirman: “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (surat Al Baqarah ayat 106). (HR Bukhari)
Tilmidzi: “Apakah pengumpulan ayat-ayat Al Qur’an itu bukan suatu perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan perkara itu?”
Mudariszi: “Allah SWT menurunkan Al Qur’an untuk manusia dan Dia memerintahkan manusia untuk mengikuti Al Qur’an tersebut. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran. (Az Zumar 41)
Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia. (Al An’aam 155)
Firman-Nya di atas menunjukkan bahwa Al Qur’an itu adalah sebuah kitab, yaitu kitab dari Allah SWT. Jika ayat-ayat Al Qur’an masih tercatat pada papan, kayu, tulang, batu dan hafalan para sahabat, maka itu bukan kitab Al Qur’an. Selain itu, Rasulullah SAW pula telah berwasiat kepada umatnya sebagai berikut:
Dari Thalhah, ia berkata: “Saya bertanya kepada Abdulah bin Abi Aufa: “Apakah Rasulullah SAW berwasiat?” Dia menjawab: “Tidak.” Lalu Saya bertanya: “Bagaimana orang-orang disuruh berwasiat yakni mereka diperintah dengannya tapi beliau sendiri tidak berwasiat?” Ia menjawab: “Beliau berwasiat dengan berpegang kepada kitab Allah.” (HR Bukhari)
Sunnah Rasulullah di atas menunjukkan wasiat beliau adalah berpegang kepada kitab Al Qur’an. Ayat-ayat Al Qur’an ketika itu bukan dalam kitab tapi hanya tercatat pada papan, kayu, batu, tulang dan hafalan para sahabat. Ayat-ayat Al Qur’an dalam keadaan itu dapat lenyap pada suatu waktu karena papan, kayu, tulang, batu dapat hancur, dan semua penghafal Al Qur’an pula akan wafat. Jika ayat-ayat Al Qur’an lenyap, maka perintah Allah agar mengikuti kitab Al Qur’an dan wasiat Rasulullah agar berpegang kepada kitab Al Qur’an menjadi tidak ada artinya. Hal itu tidak boleh terjadi. Sehingga pengumpulan ayat-ayat Al Qur’an oleh para sahabat bukanlah suatu perkara yang diada-adakan (bid’ah), meskipun tidak ada perintah dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.”
Tilmidzi: “Bagaimana ayat-ayat Al Qur’an yang terkumpul itu lalu menjadi kitab Al Qur’an seperti yang ada sekarang ini?”
Mudariszi: “Meluasnya pengikut agama Islam yang tersebar di muka bumi membuat terjadinya perbedaan bacaan Al Qur’an di antara umat Islam di satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan bacaan itu terjadi karena pengajaran dari para sahabat yang berbeda dialeg ucapan (bacaan). Perbedaan bacaan itu dibenarkan oleh Allah SWT yaitu bacaan dengan tujuh huruf (tujuh bacaan), seperti dijelaskan sunnah Rasulullah ini:
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda: “Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, lantas aku mendesaknya sehingga senantiasa aku meminta tambahan kepadanya dan dia memberikan tambahan kepadaku hingga sampai kepada tujuh huruf.” (HR Bukhari)
Dari Umar bin Khaththab, ia berkata: “Saya mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al Furqaan dalam masa Rasulullah SAW hidup, lalu saya mendengarkan bacaannya. Tiba-tiba ia membaca atas beberapa huruf yang banyak yang belum pernah Rasulullah SAW membacakannya kepadaku, hingga hampir saja saya menyergapnya dalam shalat, lalu saya menyabar–nyabarkan hingga ia salam. Saya lalu mencengkeram lehernya dengan selendangnya, lalu saya tanyakan: “Siapa yang membacakanmu surat ini yang telah saya dengar engkau membacanya?” Ia menjawab: “Yang telah membacakannya adalah Rasulullah SAW.” Saya berkata: “Engkau bohong, karena sesungguhnya Rasulullah SAW telah membacakan kepadaku surat itu yang jelas tidak sama dengan apa yang engkau baca.” Saya lalu berangkat dengannya dimana saya menuntunnya kepada Rasulullah SAW. Lalu saya berkata: “Sesungguhnya saya mendengar orang ini membaca surat Al Furqaan atas beberapa huruf yang engkau tidak membacakannya kepadaku.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Lepaskan dia! Bacalah hai Hisyam.” Lalu dia membaca bacaannya yang telah saya dengarkan bacaannya tadi. Lantas Rasulullah SAW bersabda: “Seperti demikian itulah surat tersebut diturunkan.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah hai Umar.” Lalu saya membaca bacaan yang telah Rasulullah bacakan kepadaku. Rasulullah SAW bersabda: “Demikian itulah Allah menurunkan surat, sesungguhnya Al Qur’an in diturunkan atas tujuh huruf, oleh sebab itu bacalah apa yang mudah.” (HR Bukhari)
Karena perbedaan bacaan menimbulkan perselisihan di antara umat Islam, Utsman bin Affan Khalifah (pemimpin) umat Islam ketika itu, lalu memutuskan untuk menyalin semua ayat-ayat Al Qur’an yang tercatat pada papan-papan, kayu-kayu, tulang-tulang, batu-batu dan hafalan para sahabat, ke dalam sebuah kitab. Hal itu dijelaskan dalam sunnah Rasulullah ini:
Dari Anas bin Malik, ia bercerita: “Bahwa Hudzaifah bin Al Yaman datang kepada Utsman di mana beliau sedang memerangi penduduk Syam dalam merebut Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Iraq. Lantas Hudzaifah dikejutkan oleh perbedaan pendapat mereka dalam hal bacaan Al Qur’an. Hudzaifah berkata kepada Utsman: “Wahai Amirul Mu’minin, temukanlah (pemecahan bagi) ummat ini sebelum mereka berbeda pendapat tentang Al Kitab (Al Qur’an) seperti perbedaan pendapatnya orang-orang Yahudi dan bangsa Nasrani.” Lantas Utsman berkirim surat kepada Hafshah agar dia mengirimkan kepada kami beberapa shahifah yang kami salin dalam beberapa mushaf, kemudian kami mengembalikannya kepadamu. Lalu Hafshah mengirimkan mushaf itu kepada Utsman, lalu beliau perintah kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al ‘Ash, Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam, lalu mereka menyalinnya dalam (menjadi) beberapa mushaf. Utsman berkata kepada rombongan orang-orang Quraisy yang tiga ini: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari Al Qur’an, maka tuliskanlah dengan bahasa Quraisy, karena sesungguhnya ia (Al Qur’an) turun dengan menggunakan bahasa mereka.” Lantas mereka melakukannya, sehingga apabila mereka menyalin beberapa lembar dalam mushaf, maka Utsman mengembalikan beberapa lembaran itu kepada Hafshah, dan beliau mengirimkan (salinannya) kepada setiap antero (penjuru) dengan mushaf (kitab) yang telah mereka salin. Dan beliau perintah agar seluruh lembaran atau mushaf selain mushaf salinan itu dibakar.“ (HR Bukhari)
Ibnu Syihab berkata: “Saya mendapatkan khabar dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dia telah mendengar Zaid bin Tsabit berkata: “Saya kehilangan satu ayat dari surat Al Ahzab tatkala kami menyalin mushaf dimana saya benar-benar telah mendengar Rasulullah SAW membacanya, lalu kami mencarinya dan selanjutnya kami menemukannya bersama Khuzaimah bin Tsabit Al Anshariy: “Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (surat Al Ahzab ayat 23), lalu kami menyusulkannya dalam surat Al Ahzab dalam mushaf.” (HR Bukhari)
Sejak perintah Utsman bin Affan tersebut, Al Qur’an lalu tersusun di dalam sebuah kitab dengan bacaan menggunakan dialeg bahasa Arab Quraisy. Hal itu membuat umat Islam memiliki patokan pokok dalam membaca Al Qur’an, sehingga terjadi keseragaman dalam membaca Al Qur’an tanpa melarang bacaan dari enam bacaan (huruf) lainnya.”
Tilmidzi: “Apakah maksud dari menulis Al Qur’an dalam bahasa Quraisy karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa suku Quraisy dalam sunnah beliau di atas?”
Mudarizi: “Maksudnya yaitu, menjadikan patokan pokok bacaan dalam membaca Al Qur’an dengan dialeg bacaan suku Quraisy, karena Al Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW dari suku Quraisy, sehingga terdapat keseragaman bagi umat Islam dalam membaca Al Qur’an. Hal itu dijelaskan dalam sunnah Rasulullah ini:
Dari Anas, dia berkata: “Terus mereka ada sedikit perselisihan di dalam (ucapan): “At Taa buut dan At Taa buuh”, orang-orang Quraisy berkata: “(Yang benar) “At Taabuut”, Zaid berkata: “(Yang benar) “At Taabuuh.” Kemudian perselisihan mereka dilaporkan kepada Utsman, Utsman menjawab: “Tulislah kalian semua dengan: “At Taabuut”, karena Qur‘an diturunkan mengikuti bahasanya orang Quraisy.” (HR Tirmidzi)
Tilmidzi: “Mengapa antara surat Al Anfaal dan surat At Taubah tidak ada bacaan Bismillahir Rahmanir Rahim?”
Mudariszi: “Perkara itu dijelaskan dalam sunnah Rasulullah ini:
Yazid Al Farisi dari Ibnu Abbas menceritakan kepada kami, ia berkata: “Saya berkata kepada Utsman bin Affan: “Apakah yang mendorongmu bermaksud mengikut sertakan surat Al Anfaal yaitu surat yang kurang dari seratus ayat tanpa menulis antara kedua surat itu dengan “Bismillahir Rahmanir Rahim” dan engkau menggolongkannya termasuk surat tujuh yang panjang–panjang?” Utsman menjawab: “Rasulullah SAW dalam masa yang lama tiada turun sesuatu dan (terkadang) dalam masa yang lama (selalu) turun ayat-ayat yang panjang, dan ketika turun padanya sesuatu (dari Al Qur’an) beliau memanggil orang-orang yang menulis (wahyu) dan beliau bersabda: “Letakkan ayat-ayat ini di dalam surat yang disebut di dalamnya ayat ini dan itu.” Tatkala turun padanya ayat, beliau bersabda: “Letakkan ayat ini di dalam surat yang disebut di dalamnya ayat ini dan itu.” Surat Al Anfaal termasuk surat yang pertama turun di Madinah, surat Bara’ah (surat At Taubah) termasuk surat akhir Al Qur’an dan kisahnya mirip dengan kisah di dalam surat Al Anfaal, maka saya mengira ia termasuk surat Al Anfaal. Sampai Rasulullah SAW wafat, beliau belum menjelaskan kepadanya bahwa ia termasuk surat Al Anfaal, oleh sebab itu saya mengikut sertakan kedua surat itu dan saya tidak menulis antara kedua surat itu baris “Bismillahir Rahmanir Rahim” dan saya menggolongkannya termasuk surat tujuh yang panjang-panjang.” (HR Tirmidzi)
Tilmidzi: “Apakah pengumpulan dan penyusunan ayat-ayat Al Qur’an ke dalam sebuah kitab Al Qur’an itu bukan pula suatu perkara yang diada-adakan (bid’ah)?”
Mudariszi: “Perbedaan bacaan Al Qur’an merupakan bukti nyata terjadinya perselisihan di antara umat Islam, sekalipun bacaan dari setiap pihak itu benar. Perselisihan di antara umat Islam itu dilarang oleh Rasulullah SAW, seperti dijelaskan sunnah Rasulullah ini:
Dari Abdullah, bahwasanya ia mendengar seorang lelaki membaca satu ayat dimana ia mendengar Rasulullah SAW tidak sama dengan bacaannya, lalu saya memegang tangannya lalu saya berangkat bersamanya kepada Rasulullah SAW, lantas beliau bersabda: “Kalian berdua baik (dalam bacaan), maka bacalah sebagian besar ilmuku.” Rasulullah SAW bersabda: “Maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum kalian saling berbeda pendapat, lalu Allah menghancurkan mereka.” (HR Bukhari)
Dengan adanya patokan pokok dalam membaca Al Qur’an, yaitu mushaf (kitab) Al Qur’an, perselisihan bacaan (membaca) Al Qur’an di antara umat Islam menjadi teratasi. Kitab Al Qur’an itu kemudian diperbanyak untuk diberikan kepada umat di berbagai negara guna dibaca, dihafal, dipelajari dan diamalkannya. Sungguh ganjil jika setiap umat yang ingin membaca, menghafal, mempelajari Al Qur’an harus menghadirkan terlebih dahulu penghafal Al Qur’an atau meminjam catatan Al Qur’an yang berupa kayu-kayu, tulang-tulang, batu-batu, dari Madinah. Menyalin ulang ayat-ayat Al Qur’an dari sebuah kitab itu lebih mudah, murah, cepat daripada menyalin ulang dari kayu, tulang, batu. Hal itu menunjukkan penyusunan kitab Al Qur’an bukanlah suatu perkara yang diada-adakan (bid’ah).”
Tilmidzi: “Apakah Rasulullah SAW menjelaskan tentang Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan yang mengumpulkan dan menyusunan kitab (mushaf) Al Qur’an?”
Mudariszi: “Abu Bakar itu Khalifah (pemimpin umat Islam) pengganti Rasulullah SAW, Umar bin Khattab Khalifah pengganti Abu Bakar, Utsman bin Affan Khalifah pengganti Umar bin Khattab. Rasulullah SAW menjelaskan ketiga Khalifah itu dalam sunnah beliau ini:
Dari Abu Musa Al Asy’ari, sesungguhnya dia berwudlu di rumahnya lalu keluar dan mengatakan: “Sungguh seharian ini aku akan tetap bersama Rasulullah SAW. Dia lalu datang ke masjid dan menanyakan tentang Rasulullah SAW. Para sahabat yang ditanya menjawab: “Beliau baru saja pergi ke arah sana.” Kata Abu Musa: “Aku lalu segera menyusulnya sambil sesekali bertanya. Akhirnya aku mendapat keterangan bahwa beliau menuju ke sebuah sumur itu di daerah Aris. Aku duduk di dekat sebuah pintu yang terbuat dari pelepah pohon korma. Begitu Rasulullah SAW selesai dari hajatnya dan selesai berwudlu, segera aku bangkit mendekati beliau. Kemudian Rasulullah SAW duduk di atas bibir sumur Aris tersebut. Aku lihat beliau membuka kedua lututnya, dan menggantungkannya ke dalam sumur itu. Setelah mengucapkan salam, aku kembali ke tempat semula dan duduk di samping pintu. Hari itu aku sudah bertekad hendak melayani Rasulullah SAW. Tiba-tiba Abu Bakar datang. Dia bermaksud masuk ke tempat itu. Namun lebih dahulu aku tanya: “Siapa itu?” Dijawab: “Abu Bakar.” Aku katakan kepadanya: “Sabar dulu, jangan tergesa-gesa.” Aku menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, Abu Bakar sedang minta izin untuk masuk.” Beliau bersabda: “Persilahkan dan sampaikan kepadanya khabar gembira tentang surga.” Aku temui Abu Bakar untuk mempersilahkan masuk dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW tersebut. Abu Bakar pun masuk dan mengambil duduk di sebelah kanan Rasulullah SAW di dekat bibir sumur seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Aku lalu kembali duduk dan membiarkan Saudaraku itu berwudlu kemudian dia menyusulku. Aku katakan: “Jika Allah menghendaki kebaikan kepada si polan, niscaya Allah akan mendatangkannya dengan mudah.” Tiba-tiba aku mendengar ada orang menggerakkan pintu. Aku bertanya: “Siapa itu?” Dijawab: “Umar bin Al Khattab.” Aku katakan padanya: “Sabar dulu, jangan terburu-buru.” Aku menghadap Rasulullah SAW. Setelah mengucapkan salam, aku beritahukan kepada beliau mengenai kedatangan Umar. Beliau bersabda: “Persilahkan dia masuk dan sampaikan kepadanya khabar gembira tentang surga.” Aku temui Umar untuk mempersilahkan dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW tersebut kepadanya. Umar pun masuk dan mengambil duduk bersama Rasulullah SAW di dekat bibir sumur sebelah kirinya dengan posisi duduk yang sama seperti beliau dan Abu Bakar. Aku pun kembali duduk. Aku berkata: “Jika Allah menghendaki kebaikan kepada si polan, niscaya Allah akan mendatangkannya dengan mudah.” Kemudian datang lagi seseorang juga menggerakkan pintu. Aku bertanya: “Siapa itu?” Dijawab: “Utsman bin Affan.” Aku katakan padanya: “Sabar dahulu, jangan terburu-buru.” Aku menghadap Rasulullah SAW dan memberitahukan kepada beliau mengenai kedatangan Utsman. Beliau bersabda: “Persilahkan dia masuk dan sampaikan khabar gembira kepadanya tentang surga atas musibah yang akan menimpa.” Aku temui Utsman dan aku katakan kepadanya: “Masuklah, Rasulullah SAW memberi khabar gembira tentang surga atas musibah yang akan menimpa.” Utsman pun masuk. Ketika mendapati bibir sumur sudah penuh, dia mengambil duduk di depan mereka di tempat yang sama.“ (HR Muslim)
Dengan ketiga Khalifah itu sebagai ahli surga (dari sunnah Rasulullah di atas), maka mustahil mereka mengada-ada (berbuat bid’ah) dengan pengumpulan dan penyusunan ayat-ayat Al Qur’an ke dalam kitab Al Qur’an. Di samping itu, Rasulullah SAW pula memerintahkan umat Islam agar mengikuti para Khalifah yang ditunjuki-Nya, termasuk mengikuti ketiga Khalifah tersebut: Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, yaitu dalam sunnah beliau ini:
Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Waki memberitahukan kepada kami, Sufyan memberitahukari kepada kami, dari Abdul Malik bin Umair dari hamba sahaya Rib’i dari Rib’i bin Hirasy dari Hudzaifah berkata: “Kami duduk di sisi Rasulullah SAW lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak mengerti sampai kapan aku tetap di tengah-tengah kamu, maka ikutilah dua orang Khalifah sepeninggalku”, dan beliau memberi isyarat kepada Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi)
Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Baqiyyah bin Al-Walid memberitahukan kepada kami, dari Bahir bin Said dari Khalid bin Ma’dan dari Abdur Rahman bin Amr As Sulami dari Al-Irbadh bin Sariyah berkata: “Rasulullah SAW menasehati kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh, suatu nasehat yang penting yang mana mata menangis dan hati bergetar karenanya. Seseorang berkata: “Sesungguhnya ini adalah nasehat orang yang akan meninggalkan, maka dalam hal apa saja engkau mengamanatkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Aku pesan kepadamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at biarpun seorang hamba sahaya dari Habsyah (yang memimpinmu), karena sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kamu tentu akan melihat terjadinya banyak perselisihan. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya perkara-perkara yang baru (bid’ah) itu sesat. Barangsiapa di antara kamu menjumpai hal itu, maka ia harus berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus yang diberi petunjuk, peganglah sunnah itu dengan kuat-kuat.” (HR Tirmidzi)
Tilmidzi: “Apakah Allah SWT menjelaskan tentang para sahabat Rasulullah?”
Mudariszi: “Allah SWT menjelaskan tentang para sahabat Rasulullah termasuk ketiga Khalifah yang mengumpulkan dan menyusun kitab Al Qur’an, melalui firman-Nya ini:
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. (Al Fath 18)
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (At Taubah 100)
Tilmidzi: “Apakah para sahabat dalam mengumpulkan sunnah (hadis) Rasulullah juga mengikuti cara mereka mengumpulkan dan menyusun Al Qur’an?”
Mudariszi: “Para sahabat Rasulullah sangat mengetahui (memahami) firman Allah berikut ini:
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran 31-32)
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Al Hasyr 7)
Agar dapat melaksanakan perintah-Nya di atas, para sahabat lalu mengumpulkan sunnah beliau yang berupa perkataan (penjelasan), perbuatan, perilaku beliau selama menerima, menyampaikan dan menjelaskan Al Qur’an. Mereka mengumpulkan sunnah Rasulullah dengan mengikuti cara mereka mengumpulkan dan menyusun kitab Al Qur’an. Setiap sahabat yang terlibat dalam pengumpulan, penelitian, pengkoreksian, penulisan atas setiap sunnah (hadis) Rasulullah, maka mereka diambil sumpah kesaksiannya. Mereka sangat hati-hati dalam hal itu karena takut dengan peringatan (ancaman) Rasulullah ini:
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya dia mengatakan: “Sesungguhnya aku dilarang untuk banyak menceritakan hadits kepadamu. Karena Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang sengaja mendustakan aku, maka hendaklah dia siapkan pantatnya dijilat api neraka.” (HR Muslim)
Dengan mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh para sahabat, maka anak cucu para sahabat dan murid-muridnya (ulama-ulama) lalu melanjutkan pengumpulan sunnah (hadis) Rasulullah dari para sahabat yang ketika itu telah tersebar dan menetap di berbagai belahan bumi. Kemudian terkumpul kitab-kitab sunnah (hadis) Rasulullah seperti yang ada sekarang ini. Kitab Al Qur’an dan kitab-kitab sunnah Rasulullah itu lalu digunakan oleh umat Islam dalam beramal ibadah dan berbuat ketika menjalani hidupnya karena mengikuti perintah-Nya (firman-Nya yang di atas), yaitu beramal (ibadah) dan berbuat dengan taat mengikuti Allah SWT (Al Qur’an) dan taat mengikuti Rasulullah SAW (As Sunnah).”
Wallahu a’lam.