Dialog Seri 20: 24
Tilmidzi: “Bagaimana keadaan Nabi Musa ketika pergi meninggalkan Mesir?”
Mudariszi: “Allah SWT menjelaskan hal itu sebagai berikut:
Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo’a: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.” (Al Qashash 21)
Firman-Nya di atas menunjukkan bahwa Nabi Musa pergi meninggalkan Mesir dengan rasa takut. Beliau mengetahui telah bersalah karena membunuh manusia, sehingga beliau menyadari jika beliau berhak untuk dihukum yaitu dihukum bunuh oleh penguasa negeri Mesir. Rasa takutnya itu membuat Nabi Musa senantiasa meminta kepada Allah SWT agar diselamatkan seperti dijelaskan firman-Nya di atas.”
Tilmidzi: “Kemana Nabi Musa melarikan diri?”
Mudariszi: “Nabi Musa melarikan diri menuju ke negeri Mad-yan, tapi beliau sendiri tidak mengetahui apakah tujuannya ke negeri Mad-yan itu benar. Tujuannya hanyalah untuk terhindar dari kejaran Fir’aun sehingga beliau tidak dihukum. Karena itu, di samping meminta kepada Allah SWT agar diselamatkan dari kejaran Fir’aun, Nabi Musa juga meminta kepada-Nya sebagai berikut:
Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Mad-yan, ia berdo’a (lagi): “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al Qashash 22)
Tilmidzi: “Bagaimana keadaan Nabi Musa dalam perjalanan ketika melarikan diri?”
Mudariszi: “Ketika Nabi Musa sedang beristirahat (dalam pelariannya) di tempat yang mengeluarkan air, beliau melihat sekumpulan orang yang sedang memberikan minum bagi ternak-ternak mereka. Di antara kumpulan orang itu terdapat dua wanita yang menurut Nabi Musa berbuat tidak wajar, karena itu beliau lalu menanyakan kepada kedua wanita tersebut, sebagai berikut:
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan, ia menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang Bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (Al Qashash 23)
Mendengar penjelasan kedua wanita tersebut, Nabi Musa lalu membantu mereka dalam memberikan minum bagi ternak-ternaknya. Setelah itu Nabi Musa kembali meminta kepada Allah SWT agar diberikan kebaikan bagi dirinya, karena beliau ketika itu merasa dalam kesulitan, seperti rasa lapar dan tempat tinggal. Allah SWT menjelaskan hal itu sebagai berikut:
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdo’a: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al Qashash 24)
Tilmidzi: “Apakah Allah SWT mengabulkan permintaan Nabi Musa itu?”
Mudariszi: “Kedua wanita itu lalu menjelaskan kepada Bapaknya tentang Nabi Musa yang telah menolong mereka, sehingga Bapaknya lalu menyuruh salah satu dari mereka untuk membawa Nabi Musa kepadanya guna diberikan balasan atas jasa beliau. Bapak kedua wanita itu merupakan hamba-Nya yang shaleh. Setelah berjumpa dengan Nabi Musa, hamba-Nya itu lalu menanyakan tentang diri Nabi Musa. Setelah menjelaskan tentang dirinya, Nabi Musa lalu diyakini oleh hamba-Nya tersebut sebagai berikut:
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya Bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi Bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya). Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (Al Qashash 25)
Penjelasan hamba-Nya dalam firman-Nya di atas menunjukkan bahwa permintaan Nabi Musa kepada-Nya agar diselamatkan dari Fir’aun telah dikabulkan-Nya. Di samping itu, salah seorang dari kedua wanita itu lalu meminta kepada Bapaknya agar mengambil Nabi Musa sebagai pekerja mereka. Allah SWT menjelaskan hal itu sebagai berikut:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al Qashash 26)
Bapak kedua wanita menuruti permintaan anaknya itu, tapi Bapaknya juga mengusulkan Nabi Musa agar mengambil salah satu dari anaknya sebagai isteri beliau. Allah SWT menjelaskan hal itu sebagai berikut:
Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Al Qashash 27)
Usulan Bapak kedua wanita tersebut dalam firman-Nya di atas menunjukkan bahwa permintaan Nabi Musa kepada-Nya agar memperoleh kebaikan bagi dirinya telah dikabulkan-Nya, jika Nabi Musa menerima usulan Bapak kedua wanita itu.”
Tilmidzi: “Apakah Nabi Musa menerima usulan dari Bapak kedua wanita tersebut?”
Mudariszi: “Nabi Musa menerima usulan dari Bapak kedua wanita itu agar mengawinkan salah satu dari anaknya dan bekerja untuknya selama jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian di antara keduanya. Allah SWT menjelaskan hal itu sebagai berikut:
Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Al Qashash 28)
Tilmidzi: “Bagaimana Nabi Musa menjalani hidupnya setelah berkeluarga dan bekerja untuk hamba-Nya yang shaleh tersebut?”
Mudariszi: “Allah SWT tidak menjelaskan kehidupan Nabi Musa setelah berkeluarga dan bekerja untuk hamba-Nya yang shaleh tersebut. Yang diketahui dari kehidupan Nabi Musa bersama hamba-Nya yang shaleh di Mad-yan yaitu kehidupan beliau yang bertolak belakang dengan kehidupannya di istana Fir’aun penguasa Mesir. Pengalaman hidup dan pengetahuan yang diperoleh Nabi Musa di Mesir dengan penguasa yang memimpin rakyatnya menuruti nafsunya berbeda jauh dengan pengalaman hidup dan pengetahuan yang diperoleh beliau di Mad-yan dengan hamba-Nya yang shaleh. Nabi Musa mendapat dua pengalaman hidup yang berbeda hingga membuatnya berilmu pengetahuan. Hal itu merupakan pelajaran bagi Nabi Musa yang dapat diambil hikmahnya dan hal itu juga merupakan pengajaran kepada Nabi Musa. Khususnya pengajaran Allah di Mad-yan yang selama delapan atau sepuluh tahun bekerja untuk hamba-Nya yang shaleh yang miskin demi untuk keluarga beliau dan keluarga hamba-Nya yang shaleh tersebut akan terasa sangat lama dan melelahkan. Allah SWT telah menjelaskan itu sebagai berikut:
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (yaitu jalan kebajikan dan jalan kejahatan). Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat atau orang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. (Al Balad 10-18)
Dengan demikian, Nabi Musa membunuh manusia hingga kemudian melarikan diri dari Fir’aun dengan tinggal dan menjalani hidupnya di Mad-yan bersama hamba-Nya yang shaleh sampai memperoleh pengajaran, petunjuk dan hikmah dari-Nya itu merupakan takdir (ketetapan) Allah atas beliau karena beliau telah ditetapkan menjadi Rasul-Nya yang akan menerima perintah-Nya untuk disampaikan kepada Fir’aun dan Bani Israil.”
Tilmidzi: “Apakah yang Nabi Musa lakukan setelah beliau menyelesaikan kewajibannya?”
Mudariszi: “Allah SWT menjelaskan hal itu sebagai berikut:
Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya. (Al Qashash 29)
Firman-Nya di atas menunjukkan bahwa setelah Nabi Musa menjalankan kewajibannya sesuai dengan perjanjiannya dengan hamba-Nya yang shaleh, beliau lalu pergi bersama keluarganya meninggalkan mertuanya atau hamba-Nya yang shaleh tersebut.”
Wallahu a’lam.